087777 407 525 [email protected]

Perjuangan Ulama Besar
KH. Ahmad Dahlan Mendirikan Muhammadiyah

Prolog

Muhammadiyah merupakan gerakan Islam modernis terbesar dan tertua di Indonesia yang masih eksis hingga hari ini. Muhammadiyah telah mendirikan 30 cabang istimewa di luar negeri dan melebarkan kiprah kemanusiaan ke berbagai negara dalam rangka menciptakan perdamaian global dan keadilan sosial. Anggota Muhammadiyah diprediksi berkisar antara 30 hingga 40 juta orang yang berasal dari berbagai latar belakang profesi, etnis, sosial, dan budaya.

Selama satu abad, Muhammadiyah dikenal luas sebagai organisasi sosial-keagamaan yang sukses bergerak di ranah pendidikan, kesehatan, filantropi, dan pemberdayaan sosial secara independen serta terpercaya. Muhammadiyah mendirikan lembaga pendidikan dari jenjang dasar, menengah, dan tinggi; mendirikan rumah sakit, klinik, dan layanan kesehatan; dan melakukan pemberdayaan sosial-ekonomi yang tersebar di seluruh Indonesia untuk komunitas masyarakat urban, pedesaan, pedalaman, terpencil, kawasan kepulauan, masyarakat adat, serta di area rawan bencana.

Muhammadiyah adalah organisasi Islam pribumi pertama yang mereformasi dan memperkenalkan sistem pendidikan Islam modern, tata kelola dan manajemen urusan keagamaan yang berlandaskan pada prinsip akuntabilitas dan berorientasi pada dampak, serta mempelopori gerakan emansipasi perempuan muslim.

Tujuan berdirinya Muhammadiyah adalah mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Namun, dampak kebermanfaatan Muhammadiyah juga menjangkau berbagai individu, kelompok, dan masyarakat dari berbagai latar belakang agama, suku, dan komunitas yang beragam, sejalan dengan misi rahmatan lil ‘alamin yang berlandas pada Islam moderat.

Paham dan ideologi keagamaan yang dipegang oleh Muhammadiyah adalah dakwah, tajdid, dan Islam Berkemajuan yang berpandangan wasathiyah. Dakwah adalah untuk mensyiarkan wajah Islam yang menebar manfaat dan berkeunggulan, tajdid sebagai watak adaptif pemikiran keislaman yang senantiasa selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan Islam berkemajuan merupakan karakter wawasan serta praktik beragama ala Muhammadiyah.

Sejarah Berdiri Muhammadiyah

Muhammadiyah berdiri pada 8 Dzulhijjah 1330 H atau bertepatan pada tanggal 18 November 1912 di Kauman, kota Yogyakarta. Pendirian Muhammadiyah diawali oleh keberadaan Sekolah Rakyat bernama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah yang didirikan KH. Ahmad Dahlan pada awal tahun 1912. Madrasah ini mengadakan proses belajar-mengajar pertama kali di dengan memanfaatkan ruangan berupa kamar tamu di rumah KH. Ahmad Dahlan yang memiliki panjang 6 meter dan lebar 2.5 meter, berisi tiga meja dan tiga kursi panjang serta satu papan tulis. Pada saat itu ada sembilan santri yang menjadi murid di Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah.

Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan tanpa bantuan dan sumbangan dana orang lain. KH. Ahmad Dahlan mengandalkan harta bendanya untuk mewujudkan lembaga pendidikan Islam modern yang dibayangkannya.

Seiring waktu, kala berdiskusi dengan para santri dan muridnya dari Kweek School Jetis, KH. Ahmad Dahlan mendapat dorongan tambahan agar membentuk organisasi yang diharapkan akan menjaga keberlanjutan Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Organisasi itu bernama Muhammadiyah, dengan harapan agar para anggotanya dapat meneladani Nabi Muhammad Saw.

Meskipun gagasan dan usulan untuk mendirikan Muhammadiyah banyak didorong oleh beberapa orang santri dan muridnya, atas dasar aturan yang berlaku, hanya nama-nama yang telah cukup usia yang dapat dimasukkan sebagai pendiri. Dalam Statuten atau Anggaran Dasar Muhammadiyah yang diajukan kepada Pemerintah Hindia-Belanda disebutkan bahwa tanggal berdiri organisasi ini adalah 18 November 1912.

Setelah melewati proses pengajuan yang sulit dan memakan waktu lama, dengan terbitnya Besluit pada 22 Agustus 1914 No.81, akhirnya Muhammadiyah sebagai Badan Hukum diakui oleh Pemerintah Hindia-Belanda.

Pada masa awal pendirian, aturan yang ditetapkan oleh Pemerintah Hindia-Belanda membatasi ruang dan gerak Muhammadiyah. Namun, dalam Kongres Boedi Oetomo yang diselenggarakan di rumah KH. Ahmad Dahlan pada tahun 1917, pendiri Muhammadiyah ini menyatakan bahwa organisasi ini perlu berdiri tidak saja di Yogyakarta, tapi juga di seluruh Jawa, dan bahkan di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan di berbagai tempat di nusantara.

Setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah Hindia-Belanda, KH. Ahmad Dahlan menjadi leluasa dalam memperluas misi dakwahnya. KH. Ahmad Dahlan pergi berceramah di berbagai tempat dan mengajak kaum muslimin untuk mengamalkan Islam yang membebaskan umatnya dari kejumudan, kebodohan, dan berorientasi pada amal saleh.

KH Ahmad Dahlan memimpin Muhammadiyah sejak tahun 1912 dan berakhir ketika wafat pada 1923. Dari awal hingga setengah abad berikutnya, kepemimpinan di Muhammadiyah dilanjutkan oleh Kyai Haji Ibrahim pada tahun 1923 hingga 1931. Kemudian Kyai Haji Hisyam pada 1931 hingga 1936, Kyai Haji Mas Mansyur pada 1936 hingga 1942, dan Ki Bagus Hadikusuma pada tahun 1942 hingga 1953.

Riwayat Pendiri Muhammadiyah

Ahmad Dahlan merupakan pendiri Muhammadiyah, seorang ulama yang lahir di kampung Kauman Yogyakarta pada bulan Agustus tahun 1869 dengan nama awal Muhammad Darwis. KH. Ahmad Dahlan adalah anak dari seorang ulama, imam dan khatib Masjid Besar kauman bernama Kyai Haji Abu Bakar. Nama Ibu dari KH. Ahmad Dahlan adalah Siti Aminah binti Haji Ibrahim, anak seorang ulama dan penghulu besar di Yogyakarta.

Pada masa muda, KH. Ahmad Dahlan belajar dan berguru dari kedua kakak iparnya, ilmu Fiqh dari Kyai Haji Muhammad Saleh, dan ilmu Nahwu dari Haji Muhsin. KH. Ahmad Dahlan belajar ilmu Falaq dari Kyai Raden Haji Dahlan, putera Kyai Termas; ilmu Hadits dari Kyai Mahfudh dan Syaikh Khayyat; serta Ilmu Qiraah kepada Syaikh Amien dan Sayyid Bakri. Selain mendalami ilmu-ilmu agama, KH. Ahmad Dahlan juga mempelajari pengetahuan umum, misalnya ilmu bisa atau racun binatang dari dari Syaikh Hasan, bahasa Jawa dan Melayu dari R. Ng. Sosrosugondo (anggota Boedi Oetomo dan editor bahasa untuk Statuten dalam bahasa Melayu dan Belanda), dan untuk pelajaran lainnya dari R. Wedana Dwijosewoyo, dan Syaikh Jamil Jambek.

Pada tahun 1889, KH. Ahmad Dahlan menikah dengan Siti Walidah binti Kyai Penghulu Haji Fadhil yang mendampinginya hingga wafat. Siti Walidah kemudian turut serta mendirikan organisasi muslim perempuan modernis pertama di Indonesia, yakni ‘Aisyiyah pada 27 Rajab 1335 H atau bertepatan tanggal 19 Mei tahun 1917. Aisyiyah adalah wadah bagi perempuan muslim untuk mengembangkan kiprah dalam ranah pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan sebagaimana tujuan dan maksud Muhammadiyah.

  1. Ahmad Dahlan meninggalkan banyak jejak keteladanan bagi anggota Muhammadiyah. Pada suatu saat ketika sekolah Muhammadiyah kekurangan uang untuk membayar gaji para guru dan mencukupi kebutuhan operasional sekolah, KH. Ahmad Dahlan melelang barang-barang serta perkakas di rumahnya. Orang-orang yang tergugah dengan sikap berani dan ikhlas KH. Ahmad Dahlan kemudian membeli barang-barang tersebut dengan harga tinggi dan mengembalikannya. Uang yang terkumpul mencapai F 4.000, jumlah yang sangat besar dari target awal, dan sangat mencukupi kebutuhan untuk membayar gaji guru-guru dan perlengkapan sekolah.

Tahun-tahun terakhir jelang wafat, KH. Ahmad Dahlan tidak pernah mengundurkan diri dari urusan berdakwah amar ma’ruf nahi munkar. KH. Ahmad Dahlan masih sempat mendirikan gerakan kepanduan bernama Hizbul Wathan pada 1918, membentuk Bagian Penolong Haji, kemudian berinisiatif mendirikan Mushola khusus untuk perempuan yang pertama di Hindia-Belanda, dan bahkan dalam keadaan sakit jelang rapat tahunan pada 1923 masih sempat mendirikan surau di Tretes Malang.

Teologi Al-Ma’un

Muhammadiyah meyakini bahwa doktrin-doktrin keagamaan yang ditransformasikan dengan tepat sesuai perkembangan zaman serta mengadaptasi tata kelola modern, dapat menjadi sumber penting dalam mewujudkan perubahan sosial yang memberi dampak struktural.

Pada suatu waktu ketika KH. Ahmad Dahlan selesai mengajari para santrinya surat al-Ma’un. Para santri bertanya kepada KH. Ahmad Dahlan mengapa surat yang telah mampu dibaca dengan baik dan juga dihafal masih terus diajarkan. Pertanyaan tersebut dijawab oleh KH. Ahmad Dahlan dengan sebuah tanggapan yang mengubah perspektif para santri terhadap aspek penting ajaran Islam.

Ahmad Dahlan bertanya apakah mereka sudah mengamalkan perintah dalam surat al-Ma’un? Para santri saling berpandangan dan menjawab belum. Maka, KH. Ahmad Dahlan kemudian memerintahkan para santrinya untuk mengumpulkan makanan agar dapat dibagikan pada orang-orang miskin di sekitar mereka sesuai perintah dalam surat al-Ma’un.

Kisah KH. Ahmad Dahlan mengajari para santrinya surat al-Ma’un secara berulang-ulang dan kemudian memerintahkan mereka untuk mengamalkannya menjadi asal mula munculnya konsep “teologi al-Ma’un”. Bagi Muhammadiyah, surat al-Ma’un adalah sumber inspirasi dalam menerjemahkan dakwah dalam wujud pemberdayaan sosial dengan mendirikan klinik, panti asuhan, dan gerakan Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO).

Dakwah Amar Makruf Nahi Munkar

Filosofi gerakan Islam dalam Muhammadiyah adalah dakwah amar makruf nahi munkar dan tajdid. Bagi Muhammadiyah, dakwah amar makruf nahi munkar adalah misi kerisalahan yang diemban oleh setiap muslim untuk mensyiarkan dan menyebarkan Islam menjadi rahmatan lil ‘alamin.

Setiap anggota Muhammadiyah melaksanakan dakwah amar makruf nahi munkar dengan berlandaskan pada spirit tajdid atau pembaruan. Maka, dakwah tidak berhenti dengan menyampaikan butir-butir hikmah ajaran Islam. Tapi, harus mengkaji Islam yang terintegrasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan sebagai cara untuk menemukan solusi atas persoalan-persoalan baru yang dihadapi oleh umat manusia.

Islam Berkemajuan yang Wasathiyah

Ideologi Muhammadiyah adalah Islam Berkemajuan berpandangan wasathiyah. Sejak awal mula Muhammadiyah berdiri, KH. Ahmad Dahlan telah menekankan pentingnya Islam yang “kemadjoean”. Islam bagi Muhammadiyah adalah din al-hadlarah. Islam adalah agama yang mengandung nilai-nilai kemajuan untuk mencerahkan dan mewujudkan kehidupan peradaban umat manusia yang berkeunggulan.

Secara ringkas makna Islam Berkemajuan adalah bahwa gerakan Islam yang dilaksanakan oleh Muhammadiyah tidak berpuas diri dengan keberhasilan dalam melakukan peneguhan dan pengayaan ajaran akidah, ibadah, dan akhlak. Tapi juga melakukan pembaruan dalam mu’amalah duniawiyah yang berdampak luas pada umat manusia.

Landasan istilah Islam Berkemajuan adalah surat ali Imran ayat 104 dan 110, serta al-Baqarah ayat 143  yang juga menjadi inspirasi kelahiran Muhammadiyah. Pesan dan perintah dalam ketiga ayat tersebut adalah supaya kaum muslim menjadi umat terbaik (khoiru ummah) yang memiliki posisi dan peran ummatan wasathan (tengahan, moderat) serta menjadi pelaku perubahan sejarah.

Islam yang berpandangan wasathiyah maksudnya adalah bahwa meskipun terdapat karakter keislaman yang khas di dalam Muhammadiyah jika dibandingkan dengan gerakan Islam yang lain, Muhammadiyah tidak hendak saling menegasikan.

Perbedaan dalam langgam dan corak keberislaman atau keberagamaan perlu selalu dieratkan oleh ukhuwah, toleransi, dan sinergi demi kemajuan umat serta bangsa. Wujud ukhuwah tersebut adalah dengan saling menghargai adanya perbedaan karakteristik dan wawasan keislaman yang dipahami oleh masing-masing organisasi Islam.

Ideologi Islam Berkemajuan yang berwatak wasathiyah menuntun para anggota Muhammadiyah untuk mengambil peran dalam memajukan umat dan bangsa di segala bidang secara produktif, berkelanjutan, dan mencerahkan.

Sumber: muhammadiyah.or.id

Keputusan Muktamar ke-48 Muhammadiyah tahun 2022